Keterangan Foto: Kuasa hukum Tamron, Advokat Andi Nababan,SH.
Jakarta - Audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam perkara korupsi timah Rp300 triliun. Kerugian akibat aktivitas tambang ilegal Rp29 triliun dan kerusakan lingkungan Rp271 triliun. Hal itu disampaikan ahli BPKP saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, beberapa hari yang lalu.
Menurut BPKP salah temuan adalah penggelembungan biaya dalam kerjasama PT Timah dengan smelter swasta. Demikian disampaikan Auditor Investigasi BPKP Suaedi, saat menjadi saksi ahli untuk terdakwa beneficial owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia, Tamron alias Aon di hadapan majelis hakim.
Keterangan Suaedi dan laporan perhitungan kerugian negara BPKP, adalah bukti korupsi Aon. Dan berdasarkan audit investigasi BPKP, ditemukan kerugian negara Rp2,2 triliun akibat selisih biaya peleburan yang dibayarkan.
“Data HPP (harga pokok peleburan) yang diperoleh menunjukkan fluktuasi dari tahun ke tahun,” ujar Suaedi kepada majelis hakim.
Suaedi merinci, pada tahun 2015 HPP per metrik ton tercatat sebesar 730 dolar AS. Namun pada 2017 turun menjadi 663 dolar AS dan melonjak kembali menjadi 1.670 dolar AS di tahun 2021.
“Tapi, pembayaran kepada smelter justru lebih tinggi dari nilai HPP tersebut,” katanya.
Selain adanya penggelembungan biaya smelter, BPKP juga menghitung dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan timah ilegal. Hasil perhitungan BPKP terdapat kerugian lingkungan akibat kegiatan penambangan timah di Bangka Belitung sebesar Rp271.069.688.018.700 (Rp271 triliun).
“Berdasarkan keterangan dari Ahli Lingkungan Hidup, Prof Bambang, kerugian lingkungan mencapai Rp271 triliun termasuk kerugian ekologi sebesar Rp183,7 triliun dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp11,8 triliun.
Suaedi memastikan, angka kerugian tersebut diadopsi dari data Ahli Lingkungan Hidup. Sementara data dari BPKP atas aktifitas ilegal timah sekitar Rp29 triliun.
Kepada Awak media, Kuasa hukum Tamron, Andi Nababan,SH Mengkritisi Saksi Ahli dari JPU yang dinilai tidak Sesuai dengan Prinsip Imparsialitas dan Kebenaran Materiil. Ia menuding BPKP lebih berfokus mendukung dakwaan jaksa daripada mencari fakta yang sesungguhnya. Ia pun menyoroti perbedaan angka kerugian yang dipakai dalam dakwaan.
“Dalam dakwaan disebut Rp271 triliun, tapi ternyata perhitungan riil untuk periode yang relevan hanya Rp152 triliun, menurut keterangan ahli Profesor Bambang. Ini fatal karena angka Rp271 triliun untuk periode 2015-2022 jelas tidak relevan dengan perkara ini yang hanya mencakup 2018-2020,”ungkapnya.
Andi menambahkan bahwa angka kerugian yang berubah-ubah membuat dakwaan menjadi rancu. “Kalau kerugian yang didakwakan saja salah, bagaimana mungkin klien kami bisa dibebani tanggung jawab atas angka yang tidak jelas validitasnya?”tutupnya.(Red).
.